MENYIKAPI CAFTA PERTANIAN Dr. Ir. Mohammad Jafar Hafsah (Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat/Wakil Ketua Komisi IV DPR RI)

Rabu, 30 Juni 2010


Perdagangan Bebas
Sejak abad ke-17 Adam Smith telah memperkenalkan konsep perdagangan bebas yang meliputi pasar bebas, perusahaan bebas dan pergerakan sumberdaya secara bebas baik berupa manusia, modal, barang dan jasa. Konsep ini dipercaya akan memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian dengan terwujudnya perluasan pasar, efisiensi serta berbagai manfaat lainnya. Berangakat dari gagasan tersebut, pada 1950 Jacob Viner mengajukan ide pembentukan kawasan perdagangan bebas yang terwujud dalam pembentukan Kawasan Ekonomi Eropa pada 1957 yang kemudian berubah menjadi Uni Eropa pada 2000. Langkah integrasi ini, tidak hanya meningkatkan hubungan ekonomi masing-masing negara, bahkan telah melebur mata uang 12 negara eropa menjadi satu. Keberhasilan Uni Eropa telah menginspirasi pembentukan berbagai kawasan perdagangan lainnya seperti NAFTA di Amerika Utara, APEC di Asia Pasifik dan AFTA di ASEAN.
Dalm praktek, perdagangan bebas dijalankan dengan berbagai tindakan seperti menghapuskan tarif bea masuk, kuota serta berbagai diskriminasi perdagangan lainnya untuk mengkreasi perdagangan (trade creation) yang ujung-ujungnya bertujuan untuk meningkatkan manfaat bagi semua negara yang menerapkannya. Namun dalam praktek, banyak fakta yang menunjukkan jauh panggang dari api. Distorsi pasar sering terjadi karena perdagangan bebas yang berlaku sering tidak dilandasi semangat fair trade, padahal banyak pakar berpendapat bahwa semangat fair trade harus dikedepankan dalam free trade, bukan hanya untuk menumpuk kapital dan motif ekonomi saja.
Semangat fair trade, meliputi etika bisnis, tanggung jawab sosial perusahaan, perlindungan terhadap para petani kecil, keberlanjutan pembangunan dan lingkungan hidup, penjaminan pada keamanan dan kulitas produk dan pangan, penetapan harga yang wajar dan sebagainya.

CAFTA
Sejak 1 Januari 2010, perjanjian perdagangan bebas ASEAN-China (CAFTA) telah resmi berlaku. Indonesia telah meratifikasi perjanjian tersebut yang dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 48 tahun 2004. Ini berarti telah 6 tahun kita bersepakat untuk menerapkan CAFTA pada tahun ini, namun juga berarti selama itu pula kita telah abai dan terlena untuk lebih mempersiapkan diri memasukinya. Minimnya sosialisasi dan upaya-upaya konkret untuk meningkatkan daya saing kita sebelum memasuki CAFTA terutama di sektor pertanian menjadi bukti nyata atas itu.
Bukan hanya itu, bahkan pada Rapat Kerja Nasional Kementerian Pertanian yang dilaksanakan pada minggu pertama Februari 2010 belum merumuskan program-program dan langkah antisipasi sektor pertanian dalam memasuki Asean China Free Trade Agreement (ACFTA), padahal Ini hal yang sangat penting untuk disikapi, meskipun neraca perdagangan Indonesia dengan China di sektor pertanian mengalami surplus, namun terjadi ketimpangan, karena hanya disumbangkan oleh sub sektor perkebunan, Pada tahun 2004 neraca perdagangan produk perkebunan Indonesia-China surplus 763,63 juta dollar AS, tahun 2008 naik hampir tiga kali lipat menjadi 2,757 miliar dollar AS. Komoditas perkebunan yang mendominasi ekspor Indonesia adalah minyak sawit, minyak inti sawit, karet SIR 20, karet lembaran, minyak kopra, biji cokelat pecah dan setengah pecah, karet polybutadiene styrene (SBR), margarin bukan kalengan, karet dengan campuran amonia, karet dengan campuran silika, serta kopi dipanggang tidak mengandung kafein.
Berbeda dengan perkebunan, subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru menghadapi tantangan berat. Padahal subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Neraca perdagangan komoditas tanaman pangan Indonesia-China tahun 2004 defisit 43,031 juta dollar AS. Tahun 2008 defisit membengkak menjadi 109,531 juta dollar AS.
Neraca perdagangan komoditas hortikultura defisit 150,282 juta dollar AS (2004) dan 2008 defisit 434,403 juta dollar AS. Adapun neraca perdagangan komoditas peternakan tahun 2004 defisit 7,798 juta dollar AS, dan 2008 menjadi defisit 17,948 juta dollar AS.
Data Kementerian Pertanian menunjukkan, tahun 2009 jumlah tenaga kerja di subsektor perkebunan hanya 19,7 juta jiwa atau 45,7 persen dari total angkatan kerja sektor pertanian.
Dari 19,7 juta jiwa tersebut, hanya sekitar 8 juta jiwa yang terserap di kelapa sawit dan karet. Sisanya di komoditas perkebunan lainnya. Kelapa sawit dan karet lebih banyak diusahakan perkebunan besar, baik milik negara maupun swasta.
Adapun subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan menyerap lebih dari 30 juta tenaga kerja. Dengan demikian, kesalahan dalam melakukan tata kelola tiga subsektor pertanian itu akan langsung mengimbas pada sendi-sendi perekonomian rakyat banyak. Hal ini, menjadi sangat penting untuk diperhatikan, meskipun secara umum neraca perdagangan sektor pertanian mengalami surplus, tetapi yang merasakan manfaatnya hanya sebagian kecil, sebagian besar petani lainnya apalagi komoditas yang diusahakannya terkait dengan hajat hidup orang banyak, mengalami hantaman.

Menyikapi CAFTA
Gambaran di atas, sudah semestinya menjadi perhatian bagi Pemerintah dalam mengambil dan menyusun berbagai kebijakan terutama di bidang pertanian. Jika Uni Eropa tetap menangguhkan liberalisasi sektor pertanian dalam penerapan perdagangan bebasnya sampai 25 tahun ke depan, maka bagi Indonesia, barangkali terlalu berani jika tidak ingin dikatakan naif.
Oleh karena itu banyak hal yang mesti dilakukan Pemerintah dengan segera untuk mengantisipasi berbagai ancaman serta memanfaatkan seoptimal mungkin peluang dalam CAFTA, antara lain:
1. Membentuk lembaga yang khusus mengkaji, mengawasi dan menerima laporan dugaan adanya praktek-praktek unfair trade yang
akan mengajukan gugatan kepada WTO untuk menjaga dan mengutamakan kepentingan nasional.
2. Mendorong Agroindustri dan industri perdesaan
3. Meningkatkan pembiayaan pertanian
4. Pembangunan Infrastruktur Pertanian dan Perdesaan
5. Penyediaan Sarana Produksi Pertanian
6. Penyediaan Akses Permodalan Petani
7. Pengembangan Sumberdaya Manusia
8. Pengembangan Kelembagaan
9. Pengembangan Penyuluhan Pertanian/ Pendampingan
10. Standardisasi dan Akreditasi
11. Karantina Pertanian
12. Pelestarian Lingkungan dan Sumberdaya Alam
13. Pengembangan Sistem Data dan Informasi Pertanian
14. Peraturan Perundang-Undangan

 
 
 

FAVORIT

SOROT

Bagaimana Mendapatkan Penghasilan? Ada dua cara mendapatkan penghasilan di Oriflame: # Keuntungan Langsung 30 persen dari jumlah yang Anda bayarkan pada Oriflame # Penghasilan tak terbatas dengan mengajak orang lain untuk merekomendasikan produk Oriflame.Contoh: Anda memiliki 10 pelanggan perbulan, dimana setiap orang membeli 4 produk senilai Rp. 29.900,-. Anda mendapatkan dari pelanggan Rp. 1.196.000,- Anda membayar ke Oriflame Rp. 920.000,- Anda mendapat keuntungan Rp. 276.000,- Contoh: Anda memiliki 10 pelanggan perbulan, dimana setiap orang membeli 4 produk senilai Rp. 29.900,-. Anda mendapatkan dari pelanggan Rp. 1.196.000,- Anda membayar ke Oriflame Rp. 920.000,- Anda mendapat keuntungan Rp. 276.000,- Mengajak orang merekomendasikan produk Oriflame Sebarkan pengalaman menarik Anda dalam menjual produk-produk Oriflame dan ajak orang lain untuk merekomendasikan produk Oriflame dan bangunlah tim Consultant Anda sendiri. Anda dapat memperoleh hingga 21 persen dari penjualan mereka yang bergabung dalam tim Anda. Sebagai tambahan Anda pun dapat memperoleh penghasilan dari penjualan orang yang mereka ajak merekomendasikan produk Oriflame. Info lebih lanjut: fidy 0812-9179275 Agus 021-94311229